Opini  

Kisah sang Pejuang Korpri. Di Hadapan Waktu yang Setia

oleh: Muhammad Yusuf, SH, MH

Tepat di Hari Ibu, langit Sulawesi Barat membentang biru, seolah ikut memberikan penghormatan pada sebuah momentum yang lahir dari rahim perjuangan panjang. Di lapangan upacara, barisan manusia berdiri kokoh—4.185 calon PPPK dari seantero provinsi. Mereka datang membawa ransel harapan; sebagian memanggul masa depan, sebagian lagi membawa memar akibat penantian yang tak kunjung usai.

Hening menyelimuti atmosfer. Angin seolah berhenti berembus, memberi ruang bagi keheningan yang sakral. Ribuan pasang mata tertuju ke satu titik: podium kehormatan. Di sana, berdiri Dr. Suhardi Duka (SDK), Gubernur Sulawesi Barat. Namun pagi itu, wibawa kepemimpinannya terasa berbeda. Ada getar emosi yang tertahan di balik seragamnya. Amanat ini bukan sekadar protokoler; ini adalah perjumpaan antara mandat negara dan ketukan nurani.

​Ia menarik napas panjang, menatap lautan manusia di hadapannya.
​“Hadirin sekalian,” ucapnya dengan suara bariton yang dalam, “para calon aparatur negara yang saya banggakan…” Ia terdiam sejenak, membiarkan makna kalimatnya meresap ke dalam sanubari setiap audiens. Matanya menyapu lapangan dengan haru. “Sebentar lagi,” intonasinya menurun, memberikan penekanan dramatis, “tidak akan lama lagi, Saudara-saudara sekalian akan resmi menjadi ASN!”

Baca Juga  Akun Facebook "Santi Mo" Akan Dilaporkan Ke Polres Majene Atas Pencemaran Nama Baik, Pihak Kepolisian Diminta Tegas Jelang Pilkada 2024

Kalimat itu jatuh laksana petir di siang bolong—menghantam dada, memicu riuh tepuk tangan yang pecah seperti ombak. Di barisan, ada yang menelan ludah dengan berat, ada yang menunduk menyembunyikan tetesan air mata yang jatuh ke aspal panas.

​“Jaga integritas kalian,” lanjut Gubernur dengan suara yang mengeras. “Jika Anda guru, mengajarlah dengan api semangat. Jika Anda tenaga kesehatan, melayanilah dengan seluruh detak jantung Anda.”
​Ia paham betul pahit getir menjadi abdi negara. Suaranya kini melantang, bergema melalui pengeras suara ke seluruh penjuru lapangan.

​“Hari ini kita berkumpul dalam Apel Siaga Verifikasi Fisik. Kita validasi secara nyata, bukan sekadar data di layar komputer. Kita ingin memastikan bahwa setiap nama adalah manusia bernyawa, bukan bayangan fiktif. Tidak boleh ada manipulasi! Tidak boleh ada keadilan yang dicuri sebelum SK itu terbit!”

Baca Juga  Janji Manis, Obyeknya PPPK Sampai Pensiun. Apa itu P3K ?

Gubernur SDK tersenyum tipis, sebuah senyum penuh makna. “Mungkin harga kain Korpri akan naik karena kalian menyerbu pasar. Tapi ingat, tidak semua orang berhak mengenakan seragam ini. Seseorang boleh saja mampu membeli seratus potong baju Korpri, tapi ia tidak punya hak memakainya jika tidak memiliki jiwa pengabdian. Ini tentang kehormatan negara.”

Pandangan Gubernur kemudian terkunci lama pada barisan depan—pada sosok Pak Rustam. Lelaki bersahaja itu berdiri tegak. Tiga puluh tahun ia hidup dalam ketidakpastian tanpa keluhan. Ia adalah saksi bisu saat sistem belum sempurna dan keadilan masih memalingkan wajah. Hari ini, Pak Rustam adalah monumen hidup; pengingat bahwa negara mungkin lambat, tapi pengabdian sejati tidak pernah kehilangan jalan pulangnya.

​“Sebagai Gubernur, saya bangga pada sosok Pak Rustam,” seru SDK lantang. “Hari ini, kita tidak hanya membagikan status, kita sedang memulihkan keadilan dari penantian yang sangat panjang!”
​“Pulanglah ke rumah masing-masing. Peluk istri dan suamimu. Katakan pada mereka: Hargai aku, karena kini aku adalah abdi negara.”

Baca Juga  Tenun Sekomandi, Ikon Budaya Mamuju Menuju Panggung Internasional dan Penggerak PAD

Tepuk tangan kembali menggema, panjang dan dalam, serupa doa yang akhirnya mengetuk pintu langit. Gubernur turun dari podium, berjalan membelah barisan. Saat jemari mereka bertautan dalam jabat tangan yang erat, SDK menatap mata Pak Rustam dengan rasa hormat yang tulus.
​“Atas nama Pemerintah Provinsi, terima kasih. Maafkan kami atas penantian yang terlalu panjang,” bisik SDK. “Anda adalah bukti bahwa pahlawan tidak selalu berada di medan perang. Mereka sering kali duduk di ruang kerja yang sunyi, menulis masa depan dengan tinta kesabaran.”
​Dalam hatinya, SDK membatin: “Pak Rustam, kamulah guru sejati kami tentang arti pengabdian.”

Gubernur itu kemudian memberi hormat. Bukan sebagai atasan kepada bawahan, melainkan sebagai manusia kepada manusia yang telah menang melawan waktu. Pada Hari Ibu itu, negara tidak sekadar melakukan verifikasi fisik; negara sedang menjemput martabat yang sempat tertunda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *